Aliran Kepercayaan Bukan Agama

Pada 25-28 September 2012 kemarin, masyarakat Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah selesai menghelat Kongres Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Komunitas Adat dan Tradisi di Surabaya.
Ada empat tema utama yang menjadi bahan pembicaraan di Kongres tersebut. Pertama, Konsepsi Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, Komunitas Adat dan Tradisi. Kedua, advokasi dan pemberdayaan/peningkatan kapasitas. Ketiga, kelembagaan dan sumber daya manusia. Keempat, kebijakan dan strategi. Suara yang paling kencang terdengar dalam pembicaraan itu adalah soal diskriminasi. Memang ini menjadi pokok soal dalam kehidupan penghayat kepercayaan.

Di banyak tempat, mereka bermasalah mulai lahir sampai meninggal. Kesulitan mengurus akta kelahiran, kartu tanda penduduk, surat pernikahan dan penguburan jenazah. Pasca reformasi ada upaya hukum untuk melindungi hak mereka. Meski tak sempurna dan masih menyisakan banyak persoalan di level implementasi, kita memiliki Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk), Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 tahun 2006, serta Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 dan 41 tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME.

Meski demikian, persoalan yang menghimpit kelompok penghayat kepercayaan ini sesungguhnya bukan semata-mata posisi hukum yang lemah. Saya mencatat setidaknya ada empat masalah yang mendera. Pertama adalah problem yuridis-politis. Meski di atas ada kemajuan dalam bidang hukum, tetapi peraturan lain yang diskriminatif masih bercokol. Kita bisa mencatat misalnya UU No. 1 PNPS 1965, tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Posisi penganut aliran kepercayaan dalam UU ini sangatlah lemah. Beda halnya dengan ”agama resmi” yang mendapat jaminan dan bantuan, serta penganut ”world religions” (Yahudi, Shinto, Zoroaster dan Taoism) yang dijamin eksistensinya seperti dalam pasal 29, penganut kepercayaan dibedakan pengaturannya.
Terhadap mereka, pemerintah mengupayakan untuk menyalurkan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa Masalah yang kedua, bersifat filosofis. Ini tentu saja berkaitan dengan apa itu Kepercayaan dan apa yang membedakannya dengan Agama. Tahun 1952, Menteri Agama pernah mengeluarkan Peraturan no. 9 yang salah satunya mendefinisikan Aliran Kepercayaan (via Ramstedt: 2004, 9). “Aliran kepercayaan . . . ialah suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih terbelakangan. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa”. Konsepsi ini, hemat saya kurang memadai. Di Indonesia, pengaturan tentang agama dan kepercayaan memang ambigu. Asumsi yang dibangun, kepercayaan itu bukan agama sesuai dengan Tap MPR No. IV/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam dokumen-dokumen internasional, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) kata “religion” itu selalu bergandeng dengan “belief”. Dalam general comment (komentar umum) disebutkan, pemahaman terhadap religion dan belief itu harus diperluas termasuk diantaranya agama dan keyakinan yang bersifat lokal. Meski ada pembedaan, tetapi perlakuan terhadap penganut keduanya sama saja, harus dihormati dan dilindungi. Sementara, penganut Kepercayaan dalam produk perundangan kita tidak diperlakukan sebagaimana penganut belief seperti yang ada dalam ICCPR. Problem ketiga yang berkaitan dengan penganut Kepercayaan adalah problem sosiologis. Masalah pemakaman penganut kepercayaan adalah bukti bahwa eksistensi kelompok ini masih dianggap sebagai “yang lain”. Kondisi ini juga dialami saat mereka hendak membangun sanggar atau sarana meditasi, ibadah lainnya. Ironisnya, banyak yang menerima perlakuan diskriminatif itu adalah anak-anak di level pendidikan dasar. Masalah keempat adalah citra mereka seperti yang terekam di layar kaca atau media lainnya. Di banyak tayangan film atau sinetron, mereka yang kental dengan nuansa mistik, dukun, dan hal yang berbau jahat lainnya selalu digambarkan dengan manusia berpakaian hitam, memakai ikat kepala, membawa keris dan aksesoris lainnya. Padahal penganut kepercayaan, kebanyakan memakai pakaian-pakaian seperti itu. Politik tanda yang dimainkan media berhasil mewujud dalam diskursus tentang identitas penghayat kepercayaan. Di internal penghayat Kepercayaan, memang masih ada perdebatan, apakah mereka tepat dikategorisasikan sebagai pemeluk adat, penghayat kepercayaan, kebatinan, kerohanian atau kejiwaan. Mereka juga masih belum bersepakat apakah perlu ada pengakuan negara sebagaimana “agama-agama resmi”. Pun pula ada perbedaan pandangan dalam melihat aspek manajemen organisasi, apakah penghayat harus berorganisasi lalu mendaftar ke pemerintah atau tidak harus berorganisasi.
Meski berbeda dalam hal-hal di atas, tetapi yang tidak pernah diperselisihkan adalah soal tanggung jawab negara untuk menjamin hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Kelompok masyarakat yang berbeda paham mungkin menganggap penghayat ini sebagai pemuja api, pohon, gunung dan lainnya. Segelintir oknum mungkin saja melakukan diskriminasi. Tentu ini tidak bisa dibenarkan. Tetapi akan menjadi ironis jika yang melakukan diskriminasi itu adalah negara.
Adalah hak semua warga negara termasuk penghayat kepercayaan untuk menjadi pegawai negeri sipil, TNI, Polri dan lainnya. Hak mereka juga untuk dicatatkan pernikahannya di Catatan Sipil, mendapatkan pendidikan agama dan atau religiusitas sesuai dengan keyakinannnya. Dan mereka juga berhak untuk menyatu dengan tanah tempat mereka berpijak saat nyawa tak lagi di kandung badan.
Oleh: Tedi Kholiludin

Selama ini peganut aliran kepercayaan memanfaatkan legalitas GBHN untuk memperkokoh posisi mereka. Memang benar mereka tidak membentuk agama baru. Akan tetapi mereka membentuk suatu sistim ritual, sistim sosial tersendiri seperti tata cara perkawinan, tata cara permakaman jenazah, dan siaran kepercayaan di TVRI. Tahun 1978 Pak Harto berpidato bahwa aliran kepercayaan itu bukan agama dan harus dikembalikan kepada pemeluk agamanya. Jangan sampai aliran kepercayaan ini menjerumus ke agama baru.
Letak permasalahannya yang menimbulkan interpretasi. Bila kita melihat UUD 45 pasal 29, jelas aliran kepercayaan tidak ada di situ. Cuma ada kata-kata melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Jadi kita harus merujuk pada agama supaya penggunaannya tak dipenggal dengan kata kepercayaan. Maka ini diartikan oleh mereka sebagai legitimasi kebatinan.

Sumber: elsaonline.com/www.tempo.co.id

Aliran Kepercayaan Semakin Mendapat Legitimasi Hukum

Para penganut aliran/penghayat kepercayaan kini semakin mendapat ruang di mata hukum. Belum lama ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menerbitkan Peraturan Menteri (Permendagri) No. 12 Tahun 2010 yang antara lain memungkinkan penghayat aliran kepercayaan mencacatkan dan melaporkan perkawinan mereka ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sekalipun perkawinan mereka dilangsungkan di luar negeri. Bagi penghayat kepercayaan WNA juga dimungkinkan mencatatkan perkawinan dengan menyertakan surat keterangan terjadinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan.

Permendagri itu bukan satu-satunya regulasi yang memberi legitimasi hukum aliran/penghayat kepercayaan. Tahun lalu, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) telah menandatangani Peraturan Bersama Menteri No. 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Peraturan administrasi kependudukan yang lebih tinggi tingkatannya seperti Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran dan Pencatatan Sipil, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 dan UU yang menjadi payungnya, yakni UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), juga memberikan legitimasi bagi penghayat kepercayaan. Legitimasi hukum ini berbeda sekali dengan perlakuan yang diterima para penghayat kepercayaan selama Orde Baru. Lembar sejarah hukum Indonesia mencatat kasus sengketa pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan yang bermuara hingga ke Mahkamah Agung.

Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Uli Parulian Sihombing, memberikan apresiasi atas pengakuan hukum terhadap para penghayat kepercayaan, khususnya dalam administrasi kependudukan. Namun penulis buku “Menggugat Bakor Pakem, Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia” (2009) ini menilai pengakuan hukum tersebut belum benar-benar dilakukan. Dalam praktik, status agama para penghayar dalam KTP masih belum diisi sebagai konsekuensi hanya enam agama yang diakui resmi oleh negara.

Demikian pula soal pencatatan perkawinan. Peraturan perundang-undangan memang memberi ruang bagi penganut aliran/penghayat kepercayaan untuk mencatatan perkawinan mereka di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil. Tetapi seringkali penghayat kesulitan karena perkawinan mereka harus lebih dahulu dicatatkan pemimpin penghayat kepercayaan. Dan pemimpin yang diakui adalah yang yang sudah tercatat di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Menurut Uli Parulian, para penghayat kepercayaan banyak ditemukan pada masyarakat adat yang belum terbiasa dengan dokumentasi peristiwa kependudukan. Karena itu, legitimasi hukum penghayat kepercayaan belum bisa diartikan sebagai pengakuan penuh terhadap eksistensi mereka.

Penodaan Agama

Di tempat terpisah, Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzaifah mengakui jaminan terhadap penghayat kepercayaan dalam UU Adminduk sudah lebih maju dibanding sebelumnya. Namun, ia mencatat masih ada UU yang tidak ramah terhadap penghayat  kepercayaan, yakni UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. “Banyak perkawinan perempuan penganut penghayat kepercayaan yang tidak dicatat gara-gara UU ini,” jelas Yunianti dalam pengujian UU Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi, akhir pekan lalu.

Penjelasan Pasal 1 UU tersebut memang hanya mengakui enam agama di Indonesia, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Sedangkan empat agama lain -Yahudi, Zarazustrian, Shinto dan Thaoism- tidak dilarang beredar di Indonesia sepanjang pelaksanaannya tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan ini yang sering digunakan para birokrat di Indonesia untuk tidak mencatat warga negara penganut penghayat kepercayaan. Para penghayat kepercayaan pun tak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berakibat sulitnya para penghayat kepercayaan itu mencatat perkawinannya. “Ini jelas merugikan perempuan,” tegas Yunianti.

Munarman dari Front Pembela Islam (FPI) mempertanyakan tidak dicatatnya perkawinan para penghayat kepercayaan memang karena UU Penodaan Agama atau karena birokrasi yang salah memahami. Ia menilai tak ada hubungannya UU Penodaan Agama dengan tidak dicatatnya perkawinan penghayat kepercayaan, karena keduanya berada di ranah hukum yang berbeda.

Hakim Konstitusi M Alim juga memiliki pertanyaan yang sama. Menurutnya, bila memang ada perkawinan penghayat kepercayaan yang tidak dicatat oleh para pejabat pemerintah maka telah terjadi pelanggaran UU Adminduk. “Seharusnya tindakan seperti itu digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Bukan dipersoalkan ke MK,” tuturnya. 

sumber: www.hukumonline.com

Melindungi Penganut Aliran Kepercayaan

Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) Provinsi Jawa Tengah,  beberapa hari yang lalu merilis eksistensi kelompok aliran kepercayaan.  Disebutkan bahwa dari sekitar 396 aliran kepercayaan sekarang hanya ada 336 saja. Sekitar 60 lainnya dinyatakan hilang, mati atau tidak aktif.

Rilis mengenai data aliran kepercayaan yang dikeluarkan oleh Pakem tentu tidak menggambarkan bahwa penganut aliran kepercayaan jumlahnya hanya 300an. Data itu adalah organisasi aliran kepercayaan yang mendaftarkan diri dan tercatat di pemerintah saja. Tentu saja ada banyak organisasi aliran kepercayaan yang eksis tetapi tidak mendaftarkan diri. Bagi kelompok aliran kepercayaan yang tidak mendaftarkan diri ini, terdaftarnya mereka di pemerintah bukanlah merupakan hal pokok, karena yang terpenting adalah implementasi ajaran leluhur mereka laku dalam kehidupannya.

Perlu juga dicatat bahwa penganut aliran kepercayaan ini tidak sekadar organisasi, tetapi juga individu-individu yang tak bergabung dalam kelompok aliran kepercayaan. Jika ini dijumlahkan, data tentang penganut aliran kepercayaan  tentu tidak seperti yang tercatat di Pakem.

Pakem menyebutkan ada 60 (organisasi) aliran kepercayaan yang hilang di Jawa Tengah. Apa pasal? Lagi-lagi perlu diperhatikan disini bahwa yang dimaksud “hilang” itu organisasinya (forum eksternum), bukan ajarannya (forum internum). Jadi ajaran aliran kepercayaannya sendiri sejauh bacaan saya terhadap eksistensi mereka, sesungguhnya tidaklah mati bersamaan dengan tak aktifnya organisasi mereka.

Aktivitas organisasi, termasuk organisasi keagamaan, merupakan sebuah dinamika yang perlu dibedakan dari ajarannya itu sendiri. Problem organisasi kepercayaan, seperti kebanyakan organisasi pada umumnya adalah soal manajemen, kaderisasi, sumber daya dan lainnya. Hilangnya organisasi kepercayaan tidak lepas dari dinamika internal mereka. Namun, ajarannya sendiri tentu tidaklah semudah itu hilang atau bahkan ketika ada yang coba menghilangkan, karena ia sudah terinternalisasi dalam diri penganutnya.

Walau demikian, tidak aktifnya beberapa organisasi kepercayaan itu tentu saja sangat disayangkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa tahun 1950an organisasi kepercayaan ini sangat memainkan peran penting tidak hanya dalam kapasitasnya sebagai organisasi kemasyarakatan-spiritual, melainkan juga politik (Mulder, 1978). Dalam situasi dimana peran aliran kepercayaan sangat menguat, kemudian lahirlah Pakem. Pakem mendapat mandat seperti yang tertuang dalam UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan. Dalam UU itu, menurut pasal 30:3 Kejaksaan bertugas dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum dengan, antara lain, melakukan “ (d.) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; (e.) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama”.

Melindungi, Bukan Mengawasi

Jika Pakem kita identifikasi sebagai aparatus negara, maka “tugas” mereka untuk mengawasi aliran kepercayaan, sesungguhnya bukan fungsi yang tepat meski aturannya ada dalam Undang-undang. Dalam kaitannya dengan penganut aliran keagamaan dan keyakinan, tugas negara adalah menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak kelompok ini. Negara harus memastikan bahwa tidak ada hak kelompok aliran yang terabaikan atau bahkan dilanggar. Peran negara untuk mengawasi, sesungguhnya bukan bagian dari kewajiban generiknya.

Kewajiban menjalankan tiga tugas pokok itu yang justru mesti mendapatkan perhatian. Di beberapa tempat, kita sering menjumpai pelbagai kesulitan yang dihadapi oleh penganut aliran kepercayaan dalam aspek hak sipil laiknya penguburan jenazah, pengurusan kartu identitas, pendidikan agama di sekolah, sumpah jabatan dan lainnya. Bahkan, negara harusnya juga memberi jaminan kepada mereka untuk mendirikan sanggar atau tempat ibadah sebagai manifestasi keyakinannya.

Sejak era reformasi, kemajuan kebijakan mengenai aliran kepercayaan hanya dirasakan dalam UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. salah satu klausul dalam UU tersebut menyebutkan bahwa pernikahan aliran kepercayaan dapat dicatatkan di kantor catatan sipil. Namun, masalah kemudian teridentifikasi pada aliran yang tidak mendaftarkan diri. Sehingga pada akhirnya masalah tetap menggelayut.

Cara pandang umum pemerintah terhadap aliran kepercayaan adalah Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dan sesuai dengan Instruksi Menteri agama Nomor 4 Tahun 1978 yang menyatakan bahwa Aliran Kepercayaan adalah  bukan agama. Aliran kepercayaan selalu digambarkan sebagai (dalam bahasanya Peter L. Berger) sub-kultur agama. Jadi penganut aliran kepercayaan ini memiliki ”induk agama” dimana dari situlah ajaran mereka dikembangkan.

Paradigma seperti ini yang mestinya perlu diluruskan. Tidak semua aliran kepercayaan bersumber dari agama tertentu. Banyak aliran kepercayaan yang hakikatnya adalah derivasi dari ajaran leluhurnya. Mereka mengembangkan ajaran-ajaran bijak yang diwariskan secara turun temurun. Dan pada akhirnya, aliran kepercayaan itu adalah agama itu sendiri (dalam pengertian akademik) yang pemeluknya harus mendapatkan perlindungan dan jaminan karena berada di bawah payung konstitusi yang sama dengan warga negara lainnya.

Artikel
Melindungi Penganut Aliran Kepercayaan
Oleh: Tedi Kholiludin

sumber:  elsaonline.com
 
Primbon Aji Mantrajawa : Creating Website | Johny Template
Powered © 2010. Primbon Aji Mantrajawa - All
Information by Indo Mantra Grup